Jumat, 26 September 2014

Jakarta, 26 September 2014


Jakarta, 26 September 2014

7 kata yang memberikan Miliar-an cerita bagi tiap makhluk yang berada di dalamnya. Jakarta yang mengatarkan pertemuanku dengan petinggi negeri ini. Tapi Jakarta pula lah yang mengajarkan arti kerasnya kehidupan yang sebenarnya. Di mana ada uang, aku disayang. Gak ada uang aku harus bersiap jadi gelandangan. (Alhamdulillah belum sampai pada fase itu). Karena aku masih ada kakak tersayang di ibu kota ini yang bersedia menampungku beserta dengan sifat ajaibku. Walaupun begitu, aku tidak ingin membebani kakakku seutuhnya. Aku tetap patungan membayar kos semampuku dan menanggung biaya hidupku sehari-hari. (Alhamdulillah masih ada sisa gajiku di tempat kerjaku kemarin). Siapa yang tidak kenal Jakarta? Siapa yang tidak ingin merasakan gemerlap ibukota. Artis, pejabat, hingga rakyat jelata dengan miliaran kisah mewarnai media setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detiknya. Kota besar yang tidak pernah tidur. Kota yang dipenuhi miliaran manusia (ini hiperbola, biar ada kesan lebay-nya). Kota yang menghasilkan prestasi tingkat nasional (karena pusat pemerintahan memang ada di sini) hingga kota yang menghasilkan kisah miris. Pejabat yang tersangkut kasus korupsi, suap, pelaku pelecehan seksual. Kenalkan aku, Anges Mona (bukan nama sebenarnya). Walaupun aku bernama Agnes, tapi aku seorang muslim. Mungkin orang tua ku pengen aku meraih kesuksesan seperti artis muda Agnes Monica atau yang akrab dipanggil “Anges Mo”. Jujur, aku juga pengen seperti dia. Menjadi wanita yang suskes di bidang yang ia sukai dan ia kuasai. Tapi yang terpenting, aku ingin menjadi pribadi tangguh, yang berani bermimpi, berambisi mengejar mimpi, dan sabar dalam menunggu hasil tersebut menjadi kenyataan. Tapi mimpiku bukanlah menjadi penyanyi go international seperti AgnesMo, ku bermimpi bisa menjadi pegawai PNS atau BUMN di bidang kesehatan. Bisa mengaplikasikan ilmu kesehatan masyarakat yang aku miliki. Aku sungguh ingin mimpi tersebut benar-benar menjadi kenyataan. Itulah mimpi besar dalam hidupku. Aku mau cerita sedikit, mengapa di awal kalimat aku membahas mengenai Ibukota Jakarta. Aku asli, lahir dan besar di kota Padang. Kota yang maju di bidang pendidikan, menghasilkan banyak lulusan cerdas yang kebanyakan telah merantau ke negeri orang. Merantau, merupakan kebiasaan turun-temurun dari suku ku ini. Baik dia laki-laki ataupun perempuan. Semua berlomba mengejar mimpi di negeri orang. Namun, jiwa merantauku “sedikit” melenceng dari kebanyakan orang Minang. Aku masih belum bisa melepaskan comfort zone di tanah kelahiranku, Padang. Eh, aku ceritanya loncat-loncat ya? Maap yak >.< Faktor golongan darah AB ini kayaknya. Kembali mengapa aku bisa mendaratkan kaki di Jakarta. Singkat cerita, aku lulus di salah satu perusahaan media swasta nasional ternama di Indonesia. Aku tidak mau menyebutkan merk takut nanti aku bisa terjerat kasus Undang-Undang Pers. Semua bisa dijerat ke pengadilan saat ini, salah satunya melalui peran media. Kembali ke media tersebut. Aku resmi diangkat sebagai calon wartawan pada bulan Mei 2014. Dengan proses seleksi selama 1 bulan, yaitu bulan April 2014 lalu. Aku bertemu teman-teman dari berbagai universitas, baik negeri maupun swasta. Setelah proses seleksi tersebut, terpilihlah kami sebanyak 28 orang dan aku 1 dari 28 orang tersebut. Aku sangat merasa bahagia dan bangga bisa terpilih dan mengalahkan pesaing sebanyak 300an orang lainnya. (Kata panitia, pada saat ujian psikotest yang ikut sebanyak 400an orang). Namun, sesungguhnya, aku tidak begitu paham dengan tugas dan keahlian yang dimiliki oleh seorang wartawati. Terutama wartawati bagi media ini yang dikenal paling kritis. Tiga hari pelatihan dilakukan di Sinargalih, Bogor, tepatnya daerah sebelum menuju puncak. Jujur, aku sangat senang bisa ikut pelatihan ini karena banyak calon wartawan yang cakep-cakep. Hehee. Dari jurusan dan universitas terkemuka di Indonesia juga. :* Tapi ada hal yang bikin aku “sedikit kecewa”, mereka tidak ada yang melirikku. Masalah yang selalu aku temui di mana pun aku berada. Karena banyak calon wartawati lain yang manis, cantik, dan pastinya langsing. *hiks* Di sisi lain, aku menikmati pelatihnan tersebut. Tetapi di sisi lain, aku merasa tertekan karena aku belum pernah punya pengalaman menulis di media. Ketika sesi bermain, aku sangat bersemangat. Ketika sesi menulis, aku langsung tegang. Haha. Masih teringat dengan jelas, ketika panitia pelatihan (wartawan dan wartawati handal) menunjuk salah satu di antara kami untuk menampilkan tulisan yang kami buat. Entah mengapa, sejak saat itu hingga aku resign dari media ini, aku malu memamerkan tulisanku. Seakan aku tidak yakin dengan tulisan yang telah aku buat sendiri. Malu ini, bukan tanpa alasan. Memang diakui mereka harus mengajarkanku dunia tulis-menulis dari nol! Sedangkan teman-teman yang lain di antaranya sudah punya pengalaman sehingga mereka amat sangat menikmati sekali sesi tulis-menulis tersebut. Singkat cerita (lagi), berikut fakta-fakta pendukung mengapa aku memutuskan untuk resign: - Selama dua bulan berturut-turut nilai produktivitas tulisan ku (yang dimuat di media online atau cetak) paling sedikit. (Ini di luar satu orang temanku yang pertama kali memutuskan untuk resign) - Teman-teman yang nilai produktivitasnya rendah pada bulan pertama (sama denganku) menunjukkan peningkatan drastis pada bulan ke dua. Sedangkan aku memang juga ada peningkatan, tetapi tidak memuaskan menurut versi atasanku. *yawn* - Pada bulan ketiga aku tetap mengalami peningkatan, dan jadi nomor dua terendah (setidaknya bukan aku yang paling rendah), hehe. Tetapi peningkatan ini tidak masuk hitungan menurut versi atasanku (lagi). Aku sudah berupaya maksimal, mecoba total, tetapi aku masih “gagal” menikmati tekanan tersebut. Tekanan luar biasa. Alhasil, aku terkena apes luar biasa. “Smartphone Ace 3 gue yang belum genap berumur 1 bulan, hilang, lenyap. Setelah pulang piket malam, sekitar pukul setengah 2 dini hari. Aku sudah mengikhlaskannya (Alhamdulillah udah ada gantinya (), tetapi satu hal yang membuat aku mantap resign, kalau resiko jadi wartawati ini tidaklah kecil. Tidaklah sesuai jika aku tidak menikmati profesi ini. - Ditambah lagi, dengan jeleknya citra aku di depan atasanku, mengakibatkan aku tidak begitu diacuhkan dan diperhitungkan oleh teman-teman seperjuanganku, teman calon wartawan 2014. Tidak dibully tetapi diacuhkan. Aku yang terbiasa dianggap ada oleh lingkunganku, mengakibatkan ada rasa beban atau iba hati. ( Aku ingin menunjukkan eksistensiku, tetapi akau malah gagal menunjukkan eksistensiku pada kelompokku sendiri. >.< Weekend tidak libur (kecuali emang dapat jadwal libur), lebaran tidak libur, libur nasional tidak libur. Memang begitulah jadwal kerja di dunia media, yang membuat aku jenuh dengan pekerjaan ini. Setelah memutuskan untuk resign, itu sebelum dibagikannya rapor trimester I. Dan eng ing eng, aku satu-satunya yang mendapatkan nilai C. nilai paling buruk dibandingkan 25 orang temanku yang lain (karena temanku yang resign sudah berjumlah 3 orang termasuk aku, sehingga yang bersisa sebanyak 25 orang). Aku mendapatkan rapor karena aku keluar setelah menyelesaikan satu kompartemen selama 3 bulan sehingga penilaian tetap bisa dilakukan. Helooo! Betapa malunya aku mendapatkan nilai terendah C cuy. Yang lain banyak yang dapat nilai A, dan sisanya nilai B. Hahaa, for the first time, aku merasakan gimana jadi orang paling goblok di kelas, paling goblok seperusahaan. Helloh, gue paling bego nih! Sebenarnya permasalahan ini juga terjadi pada dua tempat kerja aku sebelumnya. Aku dikalahkan oleh persaingan. Aku kalah melawan rasa malasku sendiri. Rasa malas untuk bersaing secara sehat. Aku takut kalah bahkan sebelum persaingan tersebut dimulai. Aku kalah karena aku gagal mencintai pekerjaanku tersebut. Aku bekerja tidak dengan hati. Aku gagal menikmati persaingan tersebut dengan teman-teman sepersainganku lain. Aku takut bekerja total untuk hal yang tidak aku sukai. Ternyata aku bukan “adapter hal baik”yang baik. Aku sadar, aku tidak total, karena ini bukan CITA-CITAKU. Aku ingin kembali ke dunia kesehatan, dunia yang paling aku sukai dan aku mau kuasai. Walaupun persaingannya luar biasa berat, aku sering kalah di bidang yang ku cintai ini. Aku tau ada rencana Allah SWT yang indah dibalik kegagalan-kegagalanku ini. Aku harus berupaya kuat, melepaskan segala kesusahan yang ada di dalam hati. Membiarkan tubuh dan jiwa ini meraih mimpi. Aku yakin, sebentar lagi mimpiku akan menjadi nyata!!! InsyaAllah *dagdigdug nunggu kelulusan bahan cpns kemenkes 2014 nih* ----- sekian dulu yak edisi Jakarta ku ini, besok-besok kita sambung lagi yah, banyak hal yang ingin aku share mengenai ibukota kita ini. Dadahhhhh----- Kiss… Kiss… Kiss… :* :* :*

Kamis, 25 September 2014

Jakarta, Miliar Cerita


Jakarta, 26 September 2014 Hello Jakarta, tak terasa udah 6 bulan aku di sini. Berawaldari undangan untuk mengikuti undangan psikotest calon reporter salah satu perusahaan media swasta nasional terkemuka di Indonesia. Aku mengikuti tes tersebut selama 1 bulan. Tes tersebut berlangsung sebanyak 6 kali. Aku mengikuti tes ini dalam keadaan biasa saja. Dalam artian, aku ikut tes imi di Jakarta, supaya aku ada alasan untuk datang ke ibukota ini. Media besar ini yang sudah terkenal sejak almarhum papaku masih ada di dunia. Ini alasan mengapa aku rela datang dari Padang ke sini, cuma untuk mengikuti tes yang aku belum pasti lulus. Dengan modal tiket pesawat dan tumpangan kakak kandungku di Jakarta, tepatnya di Jakarta Pusat. Kali ini, aku akan menceritakan kembali mengenai perjalanan aku mengikuti tes di media swasta ini. Calon reporter, aku yang tidak punya basic pers saat kuliah, atau sebelumnya di perusahaan media yang lain. Aku a tara mimpi dan sebuah keisengan. Setelah aku jalani selama genap 3 bulan liputan, 3 hari pelatihan dan sebulan masa tes. Aku menikmati setiap tes yang dilakukan. Mulai dari psikotest pada permulaan tes yang diikuti oleh 400an orang. Aku menikmati kata demi mata yang disampaikan panitia rekrutmen karyawan. Mereka lucu-lucu dan pandai meningkatkan semangat peserta. Ketika hasil psikotest yang langsung dikeluarkan hari itu juga, menyisihkan sekitar separuh peserta. Saat tes pertama tersebut, aku mendapatkan teman yang berasal dari Jakarta,Yogyakarta, dan Surabaya. Kota-kota besar yang ada di Indonesia. Namun, pertemanan tersebut tidak seutuhnya menyenangkan menurutku, karena tanpa mereka sadari, aku menyadari pandangan "menganggap remeh" mereka terhadap aku. Di antara mereka, hanya yang dari Yogyakarta tersebut yang lulus tes pertama sama denganku.